Monday, December 15, 2008

KULIAH: 13: PRESENTASI LAPORAN PRAKTIKUM

  • Hasil dari praktikum dan kunjungan yang telah dibuat dalam laporan tertulis kemudian dijilid rapi dengan menggunakan cover dan logo UNISMA.
  • Hasil Laporan tersebut harus diserahkan kepada dosenpaling telat tanggal 10 Januari 2009.
  • Presentasi akan dijadwalkan kemudian.
  • Jika ada hal-hal yang ingin dikomunikasikan bisa saudara sampaikan dalam blog ini atau melalui email: aos_kuswandi@yahoo.com atau via telp 085695551778.
  • Selamat menyusun laporan

KULIAH:12: PRAKTIK DAN KUNJUNGANKE DPRD 1

A. PENGANTAR
  • Mahasiswa peserta mata kuliah proses legislasi di Indonesia diwajibkan untuk melakukan praktikum dan kunjungan ke DPRD sebagai pilihan lembaga yang dikunjungi.Kemudian saudara menetapkan topik sebagai pilihan studi yang akan dibuat laporan.
  • Setelah menetapkan topik kemudian saudara membuat instrumen yang dijadikan sebagai bahan pertanyaan yang ditetapkan dari indikator.
  • Instrumen tersebut adalah dasar saudara untuk membuat bahan laporan.

B. BAGAIMANA SAUDARA DI LAPANGAN?

  • Terlebih dahulu saudara membawa surat dari tata usaha sebagai pengantar saudara melakukan kunjungan.
  • Praktikum dan kunjungan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPRD yang saudara kunjungi.
  • Setelah mendapat persetujuan dan kesediaan dari DPRD, saudara melakukan aktivitas praktikum dan kunjungan sesuai dengan instrumen yang telah ditetapkan.

C. LAPORAN PROGRES KEGIATAN

  • Saudara diwajibkan melaporkan perkembangan kegiatan praktikum lapangan melalui blog ini dalam kolom coments.
  • Laporan perkembangan 1 harus sudah diterima dalam blog ini paling telat tanggal 23 Desember 2008.
  • Isi laporanperkembangan 1 meliputi : Deskripsi penerimaanlembaga, deskripsi kelembagaan: Tugas pokok dan Fungsi serta hal-halyang bersifat umum.
  • Laporan perkembangan 2 harus sudah didterimapaling telat tanggal 3 Januari 2009.
  • Isi laporan perkembangan 2 berisi laporan hasil sesuai dengan topik dan instrumen yang saudara buat.
  • Laporan akhir secara tertulis tetap dibuat dalam kertas A4 spasi 2,jumlah 5-10 halaman yang dilengkapi dengan daftar pustaka.
  • Selamat belajar

KULIAH:11: REPRESENTASI PARTAI POLITIK DI DPR/DPRD

A. Pengantar

Tingginya harapan dan antusiasme terhadap reformasi pada awal-awal proses demokratisasi, merupakan amanat dan pekerjaan rumah yang besar untuk merealisasikannya menjadi hasil-hasil yang konkret untuk rakyat. Disinilah tantangan pemerintah dan partai-partai politik yang sesungguhnya, yakni menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kepentingan masyarakat secara berkelanjutan. Adanya peluang dan kesempatan bagi partai politik untuk menunjukkan eksistensi dirinya sudah dilegalisasikan dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik. Sejatinya dengan ruang yang tersedia demikian luas, maka seharusnya partai politik mampu bersaing secara sehat dan dewasa melalui visi, misi dan program kerja yang diusungnya. Dengan demikian hakekat demokrasi , dapat terealisasi melalui keterwakilan politik masyarakat di legislatif.

Masalah-masalah politik dalam negeri yang menghadang diharapkan menjadi perhatian serius semua pihak, termasuk partai politik. Di samping persoalan-persoalan aktual yang muncul sebagai akibat proses pembangunan politik, persoalan-persoalan klasik masih nampak ke permukan (misalnya: belum dimilikinya pemahaman yang sama dari para kader partai politik mengenai konsep demokrasi yang ideal, pada tataran implementasinya). Hal lain misalnya terkait dengan permasalahan kelembagaan, baik yang menyangkut penerapan peran dan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah masih menuntut perhatian yang mendalam untuk mengatasinya. Persoalan lainnya terkait dengan ketidakpuasan politik masyarakat di daerah juga adalah persoalan-persoalan nyata yang menuntut perhatian yang segera, (misal: Banyak konflik terjadi paska pilkada langsung pada beberapa daerah).

Dengan memperhatikan berbagai kondisi dan perkembangan politik yang ada, maka hal-hal positif yang sudah dicapai dalam pelaksanaan pembangunan politik dapat dijadikan modal bagi terpeliharanya momentum proses jangka panjang konsolidasi demokrasi. Hasil-hasil pemilihan umum langsung anggota DPR, DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004, dapat dijadikan landasan demokratisasi selanjutnya pada Pemilu 2009. Kedudukan dan peran Partai Politik menjadi penting dalam hal penguatan, penyempurnaan, dan penyesuaian kelembagaan penyelenggaraan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan lembaga kemasyarakatan politik dengan mengacu pada amanat Konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.

Representasi masyarakat dalam partai politik adalah harapan ideal yang harus dibuktikan oleh setiap partai politik melalui pelaksanaan fungs-fungsi dari partai politik.Secara konkrit Pemerintah yang terbentuk dan Anggota Legislatif yang terpilih sebagai hasil Pemilu 2009 nanti diharapkan dapat lebih membumikan hasil-hasil proses demokratisasi, agar lebih mampu diterjemahkan ke dalam tema-tema kesejahteraan dan keadilan di dalam kehidupan nyata masyarakat. Dengan demikian lebih dapat membangkitkan optimisme dan harapan bersama menuju Indonesia yang lebih baik.


B. Fenomena GOLPUT dan Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol
Tingginya angka pemilih Pada Pemilu 2004 maupun pada Pilkada sepanjang 2006-2008 pada berbagai daerah yang tidak menggunakan hak pilihnya menunjukkan lemahnya peranan yang dijalankan oleh partai politik (Parpol) . Hal tersebut bisa jadi Parpol kurang mampu mendorong masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif dalam perhelatan pesta demokrasi. Parpol seharusnya dengan aktif memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar mampu memahami politik dengan sesungguhnya dan bukan hanya mendekati masyarakat ketika akan menghadapi pemilihan saja supaya mendapatkan hati masyarakat.
Parpol cenderung lebih aktif dan menampakkan dirinya dengan berbagai aktivitasnya ketika menjelang pemilihan saja dan terkesan menghilang usai pemilihan. Sepertinya Parpol kurang membuat program-program yang senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat untuk dapat menunjang berjalannya peranan yang dimiliki oleh Parpol. Kondisi ini sangatlah tidak mendukung terhadap upaya demokratisasi di Indonesia. Jumlah angka masyarakat yang tidak memilih yang cenderung meningkat mestinya jadi bahan pembelajaran bagi partai politik, mengapa masyarakat tidak menggunakan hak politiknya? Adakah hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat pemilih sudah tidak percaya lagi terhadap parpol atau karena sebab lain? Jika kecenderungan yang terjadi lebih disebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, maka selayaknya parpol meredifinisi dan mereposisi kembali atas peran dan fungsi yang dijalankan selama ini.

C. Peran Representasi Partai Politik Peserta Pemilu 2009
Setelah menyelesaikan tugasnya melakukan verifikasi faktual terhadap Partai Politik (Parpol) untuk ditentukan apakah layak ikut Pemilu tahun 2009 ataukah tidak, pada awal bulan Juli 2009, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan daftar Parpol yang lolos verifikasi faktual dan berhak untuk menjadi peserta Pemilu tahun 2009. Sebanyak 34 Parpol nasional dan 6 Parpol lokal Aceh dinyatakan lolos verifikasi. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan jumlah peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Parpol. Dari 34 Parpol yang lolos verifikasi, terdiri dari 16 Parpol lama yang sudah pernah menjadi peserta Pemilu tahun 2004 dan 18 Parpol baru. Kemudian pada pertengahan bulan Agustus 2009, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan 4 partai politik (Parpol) lagi sebagai peserta Pemilu. Sehingga pada Pemilu 2009 mendatang akan diikuti oleh 38 Parpol.
Karena Sistem politik Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem yang dipergunakan, sebagai konsekuensinya sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka telah ditetapkan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional.
Pemilihan umum 2009 tinggal menunggu waktu. Para wakil rakyat tengah bersibuk untuk menyiapkan perangkat paket UU Pemilu yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden, dan UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, DPRD Kabupaten dan Kota. Keempat undang-undang itu akan menjadi dasar pelaksanaan pemilu 2009.
Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi sebenarnya memegang peranan penting dalam ikut mensejahterakan masyarakat. Saat ini muncul anggapan bahwa partai politik hanya memanfaatkan masyarakat sebagai voter dalam pemilu (Bisa jadi masih sama untuk pemilu 2009). Jadi partai politik dianggap hanya memanfaatkan rakyat untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Namun, di luar waktu pemilu seakan-akan mereka tidak peduli lagi dengan kepentingan rakyat. Para wakil rakyat banyak dituding kurang merepresentasikan sebagai kepentingan rakyat, melainkan sebagai kepanjangan tangan partai politik. Lalu, siapa yang akan membela rakyat ini? Banyak pihak yang mengatasnamakan rakyat, namun hanya sebagai komoditas politik belaka. Lagi-lagi rakyat yang dijual dan dimanfaatkan.
Memang benar, motivasi untuk mendirikan partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan meskipun dengan dalih untuk bisa mengubah kesejahteraan rakyat. Tapi, kekuasaan yang bagaimana? Dan, bagaimana jika mereka tidak memperoleh kemenangan dalam pemilu? Apakah mereka tidak lagi memperjuangkan kesejahteraan? Dan, apakah akan selalu menggangu pemerintah berkuasa dengan alasan pemerintah dinilai tidak becus mengurus ini dan itu? (idealnya: jika sebagai oposan, maka harus menjadi oposan yang dewasa dan bijaksana, yang selalau memberikan alternatif solusi atas masalah yang dihadapi pemerintah).
Partai berkuasa dan siapa pun yang berkuasa memiliki tugas dan amanah yang sangat berat untuk mensejahterakan rakyat sesuai alinea pembukaan UUD 45. Sebagai warga negara dan partai politik yang lain, patut untuk selalu mengawal, mendukung hal yang benar, dan mengkritisi yang dirasa kurang sejalan.Baik menang maupun kalah dalam pemilu, toh, partai politik sudah memanfaatkan suara rakyat karena mereka dipilih oleh sekian juta massa pemilihnya. Sudah menjadi tugas partai politik untuk bisa mewakili, memperjuangkan, dan menampung aspirasi para pemilihnya. Tentunya bukan hanya pemilihnya, melainkan seluruh rakyat Indonesia.
Ada beberapa peran partai politik yang dirasakan belum menyentuh secara riil masyarakat pemilihnya. Padahal dalam kampanye pemilihan umum baik nasional maupun pilkada sering kita temui massa partai politik begitu berapi-api untuk membela partai atau kandidatnya. Apakah tidak terpikir oleh partai politik untuk membela mereka? Ada anggapan bahwa parpol akan bisa mengubah keadaan jika dia berkuasa. Itu memang benar. Tapi, tetap ada juga yang bisa dilakukan meski partai itu tidak berkuasa. Nah itu, yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Saat ini, jika terjadi kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dan lain-lain, memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, dimana peran parpol untuk itu ikut menyelesaikan masalah itu?
Alangkah bijaknya jika partai politik ikut membantu program pengentasan kemiskinan, ikut memfasilitasi lapangan pekerjaan secara real, ikut menjaga ketertiban umum, dan membantu memberantas kejahatan. Dari hal-hal yang kecil, akan menumbuhkan simpati dan empati dari masyarakat. Meski tidak berkuasa, namun tetap memberi arti bagi masyarat.
Alangkah baiknya jika partai A membantu mengatasi bencana alam, banjir, gempa, tanah longsor. Partai B ikut mengatasi kepadatan lalu lintas, partai C membantu memberdayakan masyarakat dan juga partai-partai lain dengan peran-peran yang lain pula. Di satu sisi berkampanye, namun di sisi lain bermanfaat bagi masyarakat. Ibarat pepatah sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.Tapi yang terjadi sekarang, tampaknya partai politik kurang memperhatikan hal-hal tersebut. Jika ada tentunya bisa dihitung dengan jari. Para elit politik dan parpol cenderung menanggapi isu-isu politik dan mengeluarkan statemen-statemen yang kadang tidak membawa manfaat apapun terhadap masyarakat.
Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama. Bagaimana partai yang ada dan partai-partai baru yang didirikan tidak hanya melulu berorientasi kepada kekuasaan. Namun, lebih besar dari itu adalah membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Mungkin perlu ada peraturan yang menyebutkan bahwa partai politik harus melakukan kerja sosial dalam jangka waktu tertentu atau apapun regulasinya. Diharapkan kehadiran partai poltik mampu membawa angin segar bagi kesejahteraan dan bukan hanya memanfaatkan rakyat untuk mengejar kekuasaan belaka.
Peran partai politik dalam pembangunan yakni bisa menjembatani kepentingan infra strukur dengan supra struktur politik. Kehidupan demokrasi akan berjalan baik bila parpol mampu mengerahkan potensi masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan.
"Sistem demokrasi dalam Sistem Politik Indonesia (salah satunya melalui peran parpol) harus mampu memainkan peranannya dalam memantapkan komponen tersebut. Yakni meredam konflik, mengeliminir potensi perpecahan dan sebagai sarana penyelesaian masalah dalam masyarakat,"
Terakhir dalam makalah ini saya ingin menyampaikan bahwa, parpol sebagai representasi bagi kepentingan masyarakat harus benar-benar terwujud secara nyata. Tidak hanya jual kecap dalam kampanye, melainkan karya nyata dalam berbagai aktivitas pemerintahan dan pembangunan, baik di lembaga legistaltif atau eksekutif, jika terpilih, dan juga partisipasi aktif sebagai partai dalam masyarakat. Berikanlah pendidikan politik masyarakat melalui peran ideal dan karya nyata yang dibuktikan oleh papol yang menjadi pilihan masyarakat.

KULIAH:10: KESADARAN DAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT

A. Pendahuluan
· Kesadaran dan partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi.
· Setiap keputusan politik (Kebijakan Pemerintah) yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
· Karena setiap keputusan politik akan berdampak kepada kehidupan masyarakat, maka setiap warga masyarakat berhak ikut serta dalam menentukan isi keputusan politik.
· Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam negara demokrasi seperti Indonesia, maka setiap keputusan politik yang dibuat oleh pemerintah/eksekutif (termasuk legilatif) harus melibatkan partisipasi masyarakat.
· Dengan demikian maka yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa (rakyat) dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengauhi hidupnya (Surbakti, 1992:140).
· Dalam berbagai literature dikatakan bahwa partisipasi politik dapat dikategorikan sebagai bagian dari perilaku politik dari warga masyarakat. Karena perilaku politik sendiri oleh Surbakti (1992:132) disebutkan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

B. Permasalahan dalam Kesadaran dan Partisipasi Politik
· Dinamika politik local (daerah) mau tidak mau akan terbingkai oleh perubahan politik yang dirancang pada aras nasional. Hal ini nampak terjadi misalnya adanya perubahan konstitusional melalui serangkaian amandemen pada UUD 1945, maka pada akhirnya akan bermuara pada perubahan tatanan politik dan pemerintahan yang sangat mendasar.
· Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan tidak lagi dilaksanakan oleh MPR. Konstitusi kita mengamanatkan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat ini mengacu pada UUD. Dalam hal pengisian jabatan politik (rerutmen politik) setiap lembaga perwakilan politik (DPR,DPD dan DPRD) serta Presiden harus dilakukan melalui Pemilu.
· Kaitannya dengan perubahan mendasar dalam system konstitusi di Negara Indonesia ini, maka partisipasi masyarakat merupakan salah satu persayaratan yang diperlukan dalam perubahan social menuju demokrasi.
· Diawali dengan Adanya arus kekuasaan dari pemerintahan pusat menuju pemerintahan di daerah yang ditandai dengan adanya UU No 32 tentang pemerintahan daerah dan UU No 33 tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, tuntutan perlunya partisipasi masyarakat secara aktif merupakan kebutuhan yang utama bagi Daerah.
· Fenomena yang sering terjadi dalam pembelajaran politik masyarakat melalui Pemilu Presiden dan legislative serta Pilkada langsung, sejatinya menjadi menjadi barometer bagi kedewasaan sikap dan budaya politik masyarakat, namun pada kenyataanya elitisme dan sentralisme partai politik masih cukup kuat mewarnai dalam pencalonan pimpinan (terutama di daerah) sehingga ia menutup peluang bagi munculnya calon dari bawah yang secara kualitas dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi seperti ini menjadi masalah tatkala kesadaran politik dan partisipasi masyarakat menjadi prioritas utama dalam berdemokrasi.
· Menurut AM Fatwa (2005) Proses pemberdayaan politik masyarakat (civil society) yang berjalan selama ini menjadi semakin terbengkalai karena adanya hasrat dan syahwat politik yang mematikan potensi tumbuhnya pemimpin dari bawah. Jalan pintas yang ditempuh oleh para calon kepala daerah, misalnya, melalui money politik, semakin memperpanjang jarak masyarakat dengan politik. Artinya justri keadaan seperti ini semakin melemahkan semangat masyarakat dalam kesadaran berpartisipasi politik.
· Lemahnya kesadaran partisipasi politik masyarakat setidaknya disebabkan oleh beberapa factor :
1. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga keterlibatan mereka dalam Pemilu, Penentuan Kebijakan Politik atau dalam pemilihan kepala daerah, bukan karena kesadaran berpartisipasi politik, melainkan lebih karena dimobilisasi. Kebanyakan dari mereka pada saat menentukan pilihannya lebih disebabkan karena pertimbangan emosi dan psikologis.
2. Dalam hal kasus pemilihan kepala daerah, terjadi kecenderungan bahwa tidak adanya calon-calon pimpinan daerah yang dimiliki oleh partai politik yang betul-betul memiliki akar massa dan tumbuh dari bawah. Kondisi ini mengakibatkan partai politik untuk melakukan pendekatan khusus untuk menarik hati masyarakat dan mengatrol sang calon. Maka, biasanya money politik cenderung akan dilakukan. Dan hal ini semakin memperburuk bagi pembelajaran politik masyarakat.

C. Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Politik Masyarakat

· Kegiatan masyarakat seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan partisipasi politik?
· Beberapa ungkapan Ramlan Surbakti berikut dapat dijadikan sebagai kategori dari partisipasi politik:
1. Kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa (yg tdk mempunyai kewenangan) yang dapat diamati , bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi politik.
2. Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk kedalam pengertian ini seperti kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik, dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah.
3. Kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah.
4. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.

· Kesadaran akan partisipasi politik rakyat apapun alasannya adalah merupakan suatu conditio sine qua non (prasarat utama ) yang harus dipenuhi dalam membangun negara bangsa yang demokratis.
· Untuk mencapai kesadaran dan partisipasi politik masyarakat di daerah yang tinggi maka hal yang penting dilakukan adalah pendidikan politik yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Contohnya: masyarakat akan merasakan proses pembelajaran politik melalui aktivitas politik seperti PILKADA langsung. Idealnya Pilkada langsung yang telah dilakukan pada daerah-daerah di Indonesia haruslah merupakan sebagai proses edukasi politik secara langsung yang diharapkan akan berdampak secara positif terhadap masyarakat. Namun proses pilkada yang telah berlangsung cenderung rentan akan gejolak dan kekerasan serta praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis. Kejadian ini bukanlah sebuah contoh pembelajaran yang baik dan tidak patut untuk dicontoh.
· Proses Pilkada langsung yang belum tercapai seperti harapan tersebut mengindikasikan bahwa kesadaran partisipasi politik masyarakat rendah. Mengapa demikian? Karena kesadaran kritis belum dimiliki oleh rakyat pemilih, para pendukung konstetan dan para calon. Bagi sebagian orang tersebut maka PILKADA adalah ajang untuk meraih keuntungan . Padahal demokrasi yang utuh tidak akan dapat terwujud tanpa didukung oleh kesadaran kritis masyarakat.
· Hal yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat di daerah adalah perlu ditingkatkannya kualitas sumber daya manusia baik yang ada pada infrastruktur politik maupun suprastruktur politik. Karena jujur kita katakana bahwa saat ini kualitas SDM pada dua kelompok ini di kebanyakan Daerah masih rendah.
· Kesadaran kritis rakyat akan partisipasi politiknya harus tetap dibangun, melalui berbagai kegiatan sosialisasi kebijakan politik, pendidikan politik dan komunikasi politik yang dilakukan secara transfaran. Hal ini dalam jangka pendek untuk proses pilkada langsung akan berdampak pada tidak terjadinya sikap fragmatisme dalam menentukan pilihan.
· Namun hal yang perlu dipersiapkan tatkala ledakan partisipasi masyarakat terus semakin meninggi maka perlu diimbangi dengan kekuatan institusi sebagai wadah bagi aktivitas masyarakat. Dalam hal ini perlu adanya pelembagaan partisipasi masyarakat agar tidak terjadinya aktivitas politik masyarakat yang justru mengacaukan proses berdemokrasi. Pelembagaan partisipasi politik dapat dilakukan melalui dua bentuk: pertama, pelembagaan secara formal yaitu pelembagaan dengan mengacu pada prosedur dan aturan main yang telah ditetapkan dengan UU seperti kepesertaan dalam partai, keikutsertaan dalam pemilu, keterlibatan pengambilan kebijakan publik, ekspersi unjuk rasa dll. Kedua, pelembagaan partisipasi masyarakat secara substansial , yaitu pelembagaan yang lebih berorientasi pada nilai, kesadaran, dan sikap volunteri dari individu untuk terlibat dan peduli pada problem social dan masalah social ekonomi dan politik lainnya.

D. Peranan Partai Politik dan Partisipasi Masyarakat di Daerah

· Dalam mesin Sistem Politik , Partai politik merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat pemilih atau kader-kader politiknya. Oleh karenanya partai politik memegang peranan yang cukup strategis dalam meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat di tingkat bawah.
· Beberapa fungsi partai politik yang terkait erat dengan proses demokratisasi dikemukakan oleh Miriam Budiarjo antara lain: sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan sarana pengatur konflik.
· Kaitannya dengan upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat maka peranan partai politik adalah melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat atau kader-kader politiknya . Dalam pengertian ini bukan saja melakukan upaya sosialisasi politik atas kebijakan-kebijakan politik, melainkan juga melalui aktivitas langsung yang dilakukan oleh partai politik dalam melaksanakan fungsi-fungsi lainnya yang dilihat oleh masyarakat..
· Untuk meningkatkan partispasi politik, maka partai politik perlu melaksanakan fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong dan mengajak para anggota partainya dan warga masyarakat yang lain untuk menggunakan partai poliotik sebagai saluran kegiatan masyarakat dalam mempengaruhi proses politik.
· Jadi, partai politik merupakan wadah partisipasi politik bagi warga masyarakat dalam mengaktualisaikan keinginan dan aspirasinya. Fungsi partisipasi politik yang diemban oleh partai politik ini sangat tingi porsinya dalam system politik demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya tinggi rendahnya kesadaran dan partisipasi politik masyarajat di daerah turut ditentukan oleh keberadaan partai politik dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.

KULIAH:9: CARA MENGONTROL APBD

Bagaimana Mengakses Dokumen APBD?

Memiliki dokumen APBD dan jika memmungkinkan sejak masih RAPBD, adalah suatu hal yang tepat untuk mengontrol tahapan dan pelaksanaan APBD. Dokumen ini bias didapatkan di SEKDA, sedangkan untuk pidato pengantar APBD atau nota keuangan bisa didapat dari HUMAS DPRD. ATau bias saja dengan cara meminjam kepada anggota Komisi C tentang Anggaran.

Bagaimana Berpartisipasi Dalam Proses Penganggaran?

Ketahui jadwal proses penganggaran;
Ikuti setiap proses, baik secara langsung di berbagai forum yang terbuka bagi public, misalnya MUSRENBANG, dan UDKP, maupun sidang2 paripurna dalam pembahasan di DPRD. Ikuti pula perkembangannya di media massa;
Dapatkan data-data terkini seputar pembahasan yang sedang berlangsung, kritisi dan analisis;
Berikan masukan kepada para pengambil kebujakan melalui audiensi atau publichearing;
Sebarkan masukan ke pers;
Pantau terus sejauhmana masukan tersebut diakomodir;
Jika telah sampai pada pelaksanaan lakukan pengawasan terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan, khususnya yang berada di lingkungan kita;
Laporkan kepada pihak-pihak yang berwenang seperti : BPK, BPKP, NGO yang concern, atau kepolisian, hendaknya disertai dengan bukti-bukti.

Cara Membaca dan Menganalisis APBD

Perlu diperhatikan antara arah atau kecenderungan kebijakan penerimaan dan Belanja;
Perlu diperhatikan dan dianalisis mengenai konsistensi kebijakan penganggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta terhadap prinsip-prinsip penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah;
Perhatikan dan analisis mengenai strategi pembiayaan dan peningkatan penerimaan daerah berdasarkan hasil kajian mendalam dari fenomena yang dihadapi dan memperhatikan posisi, kekuatan dan masukan yang dihadapi masing-masing daerah.

Langkah Dalam Membaca dan Menganalisis Anggaran dalam APBD

Menyiapkan nota keuangan daerah (dokumen APBD) kalau bias paling tidak tiga tahun terakhir, dan dokumen pendukung lainnya seperti: Renstra, RTRWK, serta peraturan terkait baik dari pusat maupun daerah.
Membuat prosentasi distribusi alokasi penerimaan menurut sumber penerimaan dan pengeluaran menurut bidang dan unit kerja.
Membuat pemetaan sederhana berdasarkan item program/proyek per sector, kemudian mengklasifikasikannya berdasarkan pihak yang diuntungkan pada pelaksanaan program/proyek, apakah kepada public atau aparat dengan rekannya.
Mengelompokkan instansi/dinas atau lembaga daerah pengguna anggaran terbesar, dan menelaah obyek dan sasaran pembiayaan.
Menelaah signinifikansi hubungan antara induk sector/ subsektor dengan item program atau proyek yang akan dibiayai pada setiap sector tersebut, kemudian membuat klasifikasi prioritas pembiayaan tiap sector berdasarkan prinsip prioritas dan alokasi proporsional untuk sector yang membutuhkan keberpihakan pemerintah (political will)
Membuat catatan kritis berdasarkan tiga pendekatan, yaitu catatan dari aspek proses, yang merupakan tinjauan politis, catatan dari aspek efisiensi, dan rasionalitas yang merupakan tinjauan dari sisi teknis ekonomis, dan catatan dari aspek normative yaitu berdasarkan pendekatan hokum yang menjadi acuan dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah;
Merumuskan arah kebijakan sebagai rekomendasi untuk eksekutif dan legislative serta menentukan tindaklanjut atau strategi advokasi dan control yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil;

Cara Mempengaruhi Kebijakan APBD
Advokasi proaktif, adalah strategi dimana seorang pekerja advokasi secara proaktif bertindak untuk mempengaruhi suatu kebijakan sebelum kebijakan itu sampai ditetapkan atau disahkan secara hokum. Paling tidak terdapat dua strategi dalam cara ini, yaitu: lobby, hearing dan kampanye.
Advokasi reaktif, adalah advokasi dimana seorang pekerja advokasi baru berusaha untuk mengubah kebijakan setelah kebijakan tersebut diundangkan atau ditetapkan secara hokum atau setelah masyarakat menanggung akibat dari kebijakan tersebut Contoh strategi ini antara lain: demonstrasi, legal standing, class action, boycott dan revolusi.

KULIAH:8: BERPARTISIPASI DALAM PEMBAHASAN RUU

A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Ke mana saja kita dapat menyampaikan gagasan kita?

1. Anggota DPR dari Komisi atau Pansus atau Panja yang membahas
2. Badan Legislasi DPR
3. Deputi Bidang Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR
4. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI)
5. Fraksi-fraksi
Pilihan untuk menentukan kepada badan mana gagasan kita ingin disampaikan, sebenarnya tergantung pada RUU apa yang anda akan advokasikan/pantau dan sampai pada tahap mana RUU tersebut dibahas. Untuk RUU yang sudah masuk tahap pembahasan, akan lebih efektif apabila gagasan disampaikan kepada anggota DPR yang membahas RUU tersebut. Namun gagasan pada tahap awal, misalnya topik RUU tertentu atau Rancangan Akademik RUU atau naskah RUU tertentu, bisa juga disampaikan kepada kelima lembaga di atas.

Forum apa saja yang dapat kita gunakan?
Penyampaian melalui hearing/diskusi ataupun dalam rapat
1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
Forum ini adalah forum resmi yang ada dalam proses pembahasan sebuah RUU. Forum ini diadakan pada saat pembahasan tingkat I RUU, yaitu setelah adanya pemandangan umum fraksi atas RUU atau pemandangan umum pemerintah atas RUU dari DPR.
Untuk dapat terlibat dalam forum ini, cara-cara yang harus kita tempuh adalah:
Identifikasi terlebih dahulu, sudah sampai tingkat mana pembahasan RUU. (Lihat “Bagaimana Undang-Undang Dibuat”)
Kirimkan surat kepada ke sekretariat Komisi/Pansus yang membahas RUU. (Lihat “Komisi dan Mitra Kerjanya”)
Sebutkan maksud dan tujuan untuk meminta adanya RDPU tersebut.
Pastikan kita memiliki bahan yang siap dibagikan dalam RDPU tersebut, agar pembahasannya bisa fokus.
Pantau terus perkembangan dari gagasan kita dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.
2. Audiensi atau hearing dengan fraksi-fraksi
Forum ini lebih fleksibel, artinya tidak ada waktu yang terjadualkan sehingga kita dapat melakukan kapan saja sepanjang proses pembahasan RUU itu berlangsung. Sulitnya, penjadualan dan kesediaan fraksi untuk bertemu dengan kita sepenuhnya tergantung pada kemauan fraksi tersebut. Namun, hal ini bisa diatasi dengan menyampaikan surat permohonan dengan maksud, tujuan, serta identifikasi institusi/individu yang jelas, dan ditindaklanjuti melalui hubungan telepon secara intensif.
Bagimana caranya:
Hearing dengan fraksi dapat lebih mudah jika kita mengenal salah satu anggota dari fraksi yang bersangkutan. Kalaupun tidak, kita dapat memintanya ke sekretariat fraksi. Tentukan alasan serta tawaran waktu untuk bertemu untuk memudahkan fraksi/sekretariat fraksi menyusun jadual. Jangan lupa cantumkan identifikasi institusi/individu dengan jelas serta nomor telepon yang dapat dihubungi agar komunikasi penentuan jadual dapat lebih mudah terjadi.
3. Konsultasi Publik
DPR kadang-kadang melakukan mekanisme konsultasi publik (sosialisasi) untuk RUU banyak mendapatkan sorotan. Konsultasi publik (sosialisasi) biasanya dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia .

Bagaimana anda dapat berpartisipasi?
Mintalah informasi kepada sekretariat Komisi/Pansus mengenai kapan dan di mana saja konsultasi publik akan diadakan, serta organisasi yang menjadi mitra lokal DPR.
Jika kota anda termasuk yang akan dikunjungi, mintalah kepada penyelenggara lokal untuk mengundang anda dalam forum tersebut.
Jika informasi tentang mitra lokal tidak juga didapatkan, anda dapat menghubungi pemerintah daerah setempat ataupun universitas negeri di kota anda, karena Sekretariat DPR biasanya bekerja sama dengan pemerintah daerah atau dengan perguruan tinggi di kota tersebut.
Datanglah dengan membawa usulan secara tertulis. Selain mempermudah untuk dipelajari, juga berjaga-jaga jika anda tidak sempat menyampaikan usulan secara lisan/ langsung dalam forum tersebut.
Mintalah hasil konsultasi publik tersebut dan pantaulah perkembangan usulan anda di pembahasan RUU tersebut selanjutnya.

4. Hearing dengan Badan Legislasi
Badan Legislasi DPR saat ini menjadi badan yang cukup berpengaruh dalam proses legislasi DPR. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dengan Badan Legislasi DPR.a. Memasukkan naskah usulan anda untuk dijadikan RUU usul inisiatif DPR b. Memberikan masukan atas suatu naskah RUU yang sedang dibahas

B. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Ke mana kita dapat menyampaikan gagasan kita?
1. Anggota DPD
2. PAH/Tim Kerja yang mengusulkan, membahas atau mempertimbangkan Usul RUU yang menjadi wewenang DPD.
3. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
4. Sekretariat Jenderal DPD
5. Sekretariat Daerah
6. Sekretariat DPRD
Pilihan untuk menentukan kepada badan mana gagasan kita ingin disampaikan, sebenarnya tergantung pada RUU apa yang anda akan advokasikan/pantau dan sampai pada tahap mana RUU tersebut dibahas. Untuk RUU yang sudah masuk tahap pembahasan, akan lebih efektif apabila gagasan kita disampaikan kepada anggota DPD yang membahas RUU tersebut. Namun gagasan pada tahap awal, misalnya topik RUU tertentu atau Rancangan Akademik RUU atau naskah RUU tertentu, bisa juga disampaikan kepada kelima lembaga di atas.

Forum apa saja yang dapat kita gunakan?
A. Melalui Hearing dan Rapat
1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Ad-Hoc (PAH) atau Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU).
Forum ini dilaksanakan oleh PAH dan PPUU kapan saja di dalam atau di luar waktu pembahasan Usul RUU dan Usul Pembentukan RUU. RDPU bisa dilaksanakan atas permintaan dari PAH, PPUU atau atas permintaan pihak lain.
Caranya:
Pastikan bahwa Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU berada dalam lingkup kewenangan DPD.
Kirimkan surat kepada Sekretariat PAH yang mengusulkan, membahas atau mempertimbangkan suatu Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU atau kepada Sekretariat PPUU.
Jika anda berada di daerah, maka anda bisa melayangkan surat anda kepada Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD, untuk meminta diadakan RDPU atas suatu Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.
Sebutkan maksud dan tujuan anda untuk meminta adanya RDPU tersebut.
Pastikan anda memiliki bahan yang siap dibagikan dalam RDPU tersebut, agar pembahasannya bisa fokus.
Untuk akuntabilitas, anda bisa memantau perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPD sekali setahun di daerah pemilihan dalam hal ini dilaksanakan oleh Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD

2. Hearing dengan Panitia Perancang Undang-Undang
Forum ini dapat dilakukan kapan saja selama di dalam atau di luar waktu pembahasan suatu Usulan RUU. Waktunya bisa pada saat masa sidang atau pada saat PPUU mengunjungi daerah dalam kunjungan kerja dalam suatu masa sidang. Caranya anda bisa menghubungi Sekretariat PPUU untuk bertemu disertai alasan dan maksud yang jelas.
Anda dapat memasukkan draf Usulan RUU kepada PPUU untuk dijadikan Usul RUU anggota DPD, dan anda juga dapat memberikan masukan terhadap pembahasan Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.

3. Hearing dengan Anggota DPD yang merupakan anggota PAH yang mengusulkan dan membahas Usul Pembentukan RUU atau Usul RUU
Forum ini juga bisa dilaksanakan kapan saja, di dalam atau di luar masa pembahasan suatu Usulan RUU atau pada saat kunjungan kerja anggota DPD ke daerah atau pada saat Anggota DPD melakukan kegiatan kerja di daerah masing-masing. Forum ini bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah, di mana hasil dari kunjungan kerja dan kegiatan anggota DPD di daerah akan dilaporkan kepada semua alat kelengkapan DPD.
Anda dapat menghubungi sekretariat masing-masing PAH. Jika anda berdomisili di luar Jakarta anda bisa menghubungi Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD setempat untuk meminta bertemu dengan disertai alasan yang jelas dan tawaran waktu bertemu.
Anda dapat memasukkan draf Usulan RUU kepada Anggota DPD untuk dijadikan Usul RUU anggota DPD, serta anda dapat memberikan masukan terhadap pembahasan Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.

B. Melalui Surat
Setiap waktu anda bisa mengirimkan saran, kritik, dan masukan kepada anggota DPD melalui Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD di daerah masing-masing. Semua masukan dan kritikan akan disampaikan kepada anggota DPD pada saat kunjungan kerja.
Caranya
Kirimkan surat langsung yang dapat berisi usulan RUU, pertimbangan atas suatu RUU yang berada dalam lingkup kewenangan DPD kepada Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD.

KULIAH:7: INDIKATOR KEMAMPUAN DPRD

A. PENDAHULUAN
Dilihat dari sisi etika ia tidak boleh memperjuangkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
1. Dari sisi profesionalisme, ia harus mampu menampilkan diri sebagai sosok wakil yang memang refresentatif.
2.DPRD harus mempunyai kemampuan profesional yang memadai serta didukung oleh komitmen yang tinggi terhadap etika politik dan pemerintahan yang harus dijunjung tinggi.
3.Salah satu wujud dari fungsi legislaslatif DPRD dalam perumusan Peraturan Daerah dan APBD, yaitu dimilikinya kemampuan oleh DPRD dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah demi tercapainya kesejahteraan bersama yang disepakati.
4.Pembuatan Peraturan Daerah dan APBD ini merupakan fungsi DPRD saat dihadapkan pada berbagai masalah (khususnya masalah-masalah pembangunan dan konflik kepentingan di dalam masyarakat) demi terwujudnya kesejahteraan bersama dan tujuan bersama yang disepakati.
5.Ukuran pelaksanaan fungsi legislaslatif ini dapat dilihat dari kemampuan lembaga ini (DPRD) dalam hal mengantisipasi perkembangan masa depan, mengidentifikasi problem-problem utama, dan merumuskan preskripsi untuk mengatasinya serta kemampuannya menjadi mediasi penyelesaian berbagai konflik secara damai
6. Disisi lain kemampuan DPRD dalam melaksanakan fungsi legislatif dapat dilihat dari daya persepsi para anggotanya dalam mengangkat berbagai masalah dalam masyarakat untuk dibicarakan dalam forum DPRD.

B. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN DPRD
1.Kualitas anggota DPRD ini dapat diukur dari seberapa besar peran DPRD dari sisi kemitrasejajaran dengan lembaga eksekutif dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, menyusun dan menetapkan berbagai peraturan daerah.
2.Terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi legislatif di tingkat nasional maupun pada level daerah antara lain : Pertama, integritas dan kemampuan atau keterampilan anggota Badan legislatif. Kedua, pola hubungan anggota badan legislatif dengan anggota masyarakat yang mereka wakili yang tercermin di dalam sistem perwakilan yang berlaku. Ketiga, struktur organisasi badan legislatif yang merupakan kerangka formal bagi kegiatan anggota dalam bertindak sebagai wakil rakyat. Keempat, hubungan yang tercermin dalam pengaruh timbal balik antara badan legislatif dengan eksekutif dan lembaga-lembaga lainnya sebagai unit-unit di tingkat daerah, serta hubungan badan tersebut dengan lembaga-lembaga yang sama di tingkat yang lebih tinggi hirarkinya

Menurut Arbi Sanit terdapat 2 faktor yang mempengaruhi kemampuan DPRD:
Pertama, faktor internal dalam tubuh DPRD yang meliputi kemampuan masing-masing anggota DPRD dan pola hubungan yang terjadi antara sesama anggota DPRD, dengan fraksi, komisi maupun dengan pimpinan DPRD.
Kedua, faktor eksternal yang meliputi pola hubungan anggota DPRD dengan masyarakat pemilihnya yang terlingkup dalam sistem perwakilan yang berlaku dan pola hubungan antara DPRD sebagai lembaga dengan lembaga lain di Daerahnya maupun dengan lembaga lain yang lebih tinggi. Nampaknya faktor-faktor yang dikemukakan oleh Arbi Sanit tersebut sangat relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam menganalisis fungsi legislatif DPRD dalam perumusan Peraturan Daerah tentang APBD.
Lee yang dikutip oleh Priyatmoko berpendapat bahwa: faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap proses legislatif terbagi dalam tiga, yaitu :

1) Stimulasi eksternal , yang mencakup apiliasi partai politik, kepentingan pemilih, input-input eksekutif, dan aktivitas kelompok penekan;
2) Setting psikologis, yaitu predisposisi-predisposisi personal, sikap dan peran-peran yang dijalankan para wakil rakyat, serta harapan-harapan mereka. Faktor-faktor ini cukup penting bukan saja karena kemungkinan efek independennya, melainkan juga potensinya untuk menyaring dan mengubah pengaruh eksternal;
3) Komunikasi intra institusional, baik yang bersifat formal maupun informal, termasuk kemungkinan adanya hubungan-hubungan patronase di dalamnya. Bentuk-bentuk komunikasi ini mempunyai potensi untuk menggantikan atau memperbesar pengaruh-pengaruh faktor lain yang telah disebutkan.

Apabila menggabungkan dan menyederhanakan pendapat Sanit dan Lee tersebut, maka sebetulnya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota DPRD dalam akitivitas merumuskan peraturan daerah dan APBD dapat disederhanakan menjadi empat kelompok variabel yaitu:
pertama, faktor internal dalam tubuh DPRD meliputi: kemampuan masing-masing anggota DPRD, struktur formal organisasi DPRD, komunikasi intra institusional dalam DPRD dan setting psikologis dari anggota DPRD;
kedua, stimulasi eksternal yang mencakup afiliasi anggota DPRD terhadap partai politik, kepentingan pemilihnya, input-input dari eksekutif dan aktivitas yang dilakukan oleh kelompok penekan;
ketiga, pola hubungan anggota DPRD dengan masyarakat pemilih yang mereka wakili; keempat, hubungan timbal balik antara DPRD dengan eksekutif dan lembaga-lembaga lain/unit pemerintah daerah yang setingkat pada pemerintah daerah .

KULIAH:6: PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A. Prosedur Umum Pembentukan

Untuk menghasilkan sebuah produk ‘Peraturan Daerah’ yang baik dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, maka perlu dilakukan berdasarkan prosedur penyusunan Peraturan Daerah agar lebih terarah dan terkoordinasi.

Dalam pembuatan Peraturan Daerah perlu adanya persiapan-persiapan yang matang dan mendalam, antara lain:
Dimilikinya pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Daerah;
Adanya pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut kedalam peraturan daerah secara singkat tetapi jelas, dengan pilihan bahasa yang baik dan mudah difahami, disusun secara sistematis berdasarkan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Prosedur penyusunan peraturan daerah adalah merupakan rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan peraturan daerah terdiri dari tiga tahapan:
1. Proses penyiapan rancangan Peraturan Daerah , yang merupakan proses penyusunan dan rancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemerintah Daerah (Dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk menyusun naskah inisiatif (initiatives draft) , naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan peraturan daerah (legal draft).
2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
3. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Biro/Bagian Hukum.

B. Proses Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah

Sebagaimana halnya DPR, dalam konteks Daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Rancangan Peraturan Daerah. Dalam pelaksanaannya RAPERDA dari lingkungan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing Daerah.

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah atas inisiatif DPRD akan dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pejabat Unit Kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk bertanggungjawab atas pembahasan lebih lanjut di tingkat eksekutif. Setelah itu maka akan dibentuk tim asistensi dengan Sekretaris yang berada di Biro/ Bagian Hukum.

C. Proses Penyiapan RAPERDA di Lingkungan Pemerintah Daerah

Pada proses penyiapan Peraturan Daerah yang berasal dari Pemerintah Daerah diawali adanya prakarsa dari Pimpinan Unit Kerja untuk mengusulkan suatu produk hukum daerah (Raperda). Rencana Penyusunan RAPERDA ini diajukan oleh pimpinan Unit Kerja kepada Sekretaris Daerah untuk dilakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Yang dimaksud dengan Pimpinan Unit Kerja yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan sekretariat dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut.

Beberapa hal yang mesti dilampirkan dalam usulan awal RAPERDA dari pimpinan Unit Kerja antara lain memuat isi pokok-pokok pikiran terdiri:
Maksud dan Tujuan Pengaturan
Dasar Hukum
Materi yang diatur; dan
Keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain.

Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat Daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan dalam RAPERDA tersebut, maka sekretaris Daerah akan mengambil keputusan . Sekretaris Daerah juga menugaskan kepala Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan.

Apabila Sekretaris Daerah menyetujui, pimpinan Unit Kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan . Pembahasan ini harus melibatkan Biro/ Bagian Hukum, Unit Kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu Unit Kerja Dapat mendelegasikan kepada Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah (raperda) terebut.

Rencana Peraturan Daerah yang sudah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah Kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan.

D. Proses Mendapatkan Persetujuan (Pembahasan di DPRD)

Raperda yang masuk ke Sekretariat DPRD baik atas usul inisiatif DPRD maupun atas inisiatif Pemerintah Daerah, selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh DPRD bersama Gubernur/ Bupati/ Walikota . Dalam hal ini Pemerintah Daerah akan membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris berada di Biro/ Bagian Hukum.

Pada tahapan pembahasan di DPRD ini dilakukan beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna.

Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD akan ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing Daerah. Khusus untuk RAPERDA atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau Pejabat Unit Kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.

E. Proses Pengesahan dan Pengundangan

Apabila pembicaraan suatu RAPERDA dalam rapat paripurna akhir di DPRD telah selesai dan RAPERDA tersebut telah disetujui oleh DPRD maka selanjutnya akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan.

Penomoran Perda akan dilakukan oleh Biro/ Bagian Hukum dan Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentikasi. Selanjutnya Kepala Daerah akan mengesahkan Peraturan Daerah tersebut dengan cara menanadatangani Peraturan Daerah tersebut.

Setelah Perda tersebut disahkan oleh Kepala Daerah, agar perda tersebut dapat berlaku dan mengikat umum, kemudian Perda tersebut akan diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Stetlah itu Biro/Bagian Hukum bertanggungjawab terhadap penggandaan, pendistribusian, dan pendokumentasian Perda Tersebut.

Dalam hal diketahui masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan RAPERDA yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala Daerah.

Jika masih terdapat kesalahan teknis penyusunan setelah RAPERDA disampaikan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan RAPERDA yang telah disetujui oleh DPRD dengan persetujuan pimpinan DPRD.

Seteleh Perda diundangkan, tetapi masih terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Peraturan Daerah melalui Lembaran Daerah. Setelah itu berdasarkan hukum yang berlaku, Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Perda yang tekah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah itu dan pihak yang terkait mengetahuinya.

KULIAH:5: PROSES MEMBUAT UNDANG-UNDANG

Sebagai acuan kebijakan bagi Pemerintah maupun lemabag legislative di Indonesia, maka pembuatan UU dan Peraturan Pemerintahan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Selain itu, proses pembuatan undang-undang yang diajukan oleh Presiden juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres No. 68/2005). Perpres ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU PPP.
Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Ketentuan Umum angka 1 UU PPP). Mengenai Proses pembuatan UU tersebut dilakukan seperti diuraikan dalam penjelasan berikut:
A.Perencanaan Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).
DARI MANA SAJA RUU BERASAL?
1. RUU dari Presiden
Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yang dalam UU PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan, dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu perancangan.
Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres No. 68/2005. Sebelumnya, proses penyusunan RUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Namun dengan berlakunya Perpres No. 68/2005 maka Keputusan Presiden tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan RUU dalam Perpres ini terdiri atas (i) penyusunan RUU yang meliputi penyusunan RUU beradasarkan Prolegnas dan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (ii) penyampaian RUU kepada DPR.
a. Penyusunan RUU dari Presiden (Eksekutif)
Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.
Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian.
b. Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas
Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan.
Panitia antar departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan.Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.
Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.
Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima.
Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham.
Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden.
c. Penyusunan RUU diluar Prolegnas
Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.
Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.
Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU.
Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen.
Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.
d. Penyampaian RUU Kepada DPR
RUU yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud.
2. RUU dari DPR
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).
Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.
Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.
Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPDI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter.
Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.
3. RUU dari DPD
Sebagai lembaga legislatif baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringanya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.
Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU.
Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat.
Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut.
Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR.
SIAPA YANG MENGUSULKAN UU?
Sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) bisa datang dari tiga pintu yaitu Presiden, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam mengusulkan sebuah RUU ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada Prolegnas
1. Pengusulan Oleh Presiden
RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat presiden tersebut setidaknya memuat (i) menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (ii) sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki dan (iii) cara penanganan atau pembahasan.
Sementara itu, keterangan pemerintah yang menyertai surat presiden disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat: (i) urgensi dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan, (iii) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah pengaturan. Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi RUU.
2. Pengusulan Oleh DPD
DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.
Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.
3. Pengusulan Oleh DPR
Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu
Badan Legislasi
Komisi
Gabungan komisi
Tujuh belas orang anggota
Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpina DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.
Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa:
Persetujuan tanpa perubahan
Persetujuan dengan perubahan
Penolakan
Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut.
Namun, apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUUyang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.
BAGAIMANA PEMBAHASAN RUU?
Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR.
Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
Pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan:
Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU)
Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain
Diadakan rapat intern
Pembicaraan dua, adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh
laporan hasil pembicaraan tingkat I
pendapat akhir fraksi
c. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpes No. 68/2005 mengatur bahwa Pendapat akhir pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh menteri yang mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden.
Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan.
Menteri yang ditugasi membahas RUU di DPR segera melaporkan RUU telah disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Selanjutnya apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama presiden. dan DPR maka RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama.
Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah RUU akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan.

KULIAH:4:PROSES PERUMUSAN KEBIJAKSANAAN NEGARA

Membuat atau merumuskan suatu kebijaksanaan negara adalah merupakan suatu proses yang kompleks, hal ini disebabkan karena terdapatnya banyak faktor atau kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan negara tersebut. Suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis (misalnya: untuk mempertahankan status quo pembuatan keputusan) tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan.
Setiap pembuat keputusan memandang setiap masalah politik berbeda dengan pembuat keputusan lain. Belum tentu suatu masalah yang dianggap masyarakat perlu dipecahkan oleh pembuat kebijaksanaan negara dapat menjadi isue politik yang bisa masuk ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi kebijaksanaan negara. Proses perumusan kebijaksanaan negara yang begitu sulit dan rumit dilakukan masih berhadapan dengan permasalahan : apakah kebijaksanaan negara itu sudah diantisipasikan akan mudah atau lancar diimplementasikan. Dan hasil implementaikan kebijaksanaan negara itu, baik yang berdampak atau yang mempunyai konsekuensi positif maupun negatif juga berpengaruh terhadap proses perumusan kebijaksanaan negara yang berikutnya.
Tahapan dalam proses perumusan kebijaksanaan negara adalah sebagai berikut :
1. Perumusan masalah kebijaksanaan negara
2. Proses memasukkan masalah kebijaksanaan negara ke dalam agenda pemerintah
3. Perumusan usulan kebijaksanaan negara
4. Proses legitimasi kebijaksanaan negara
5. Pelaksanaan kebijaksanaan negara
6. Penilaian kebijaksanaan negara

A. PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKSANAAN NEGARA
Apa yang dimaksud dengan masalah kebijaksanaan negara ?
Adalah suatu kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan rakyat untuk mana perlu dicari cara-cara penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena akibat oleh masalah itu atau oleh orang lain yang punya tanggung jawab untuk itu.

Problem umum : adalah kebutuhan/ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi/diatasi secara pribadi (private).

Perbedaan antara masalah Private dengan masalah umum :
Masalah private : mempunyai akibat yang terbatas hanya menyangkut suatu jumlah orang kecil/kelompok.
Masalah Umum : mempunya akibat yang luas. Masalah muncul setelah menjadi issue dengan dibarengi adanya konflik problem-problem umum yang satu sama lain saling bertentangan.
Suatu problem baru dikatakan sebagai problem umum apabila problem itu dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problem itu.

Tahapan dalam perumusan kebijakan negara adalah sebagai berikut :
1. Mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan
2. Mengerti dengan benar sifat dari masalah kebijakan
3. Membuat perumusan-perumusan yang jelas

B. PENYUSUNAN AGENDA PEMERINTAH

Agenda pemerintah adalah problem umum atau isue dimana pembuat keputusan merasa harus memberikan perhatian yang aktif dan serius kepadanya. Persyaratan isue untuk bisa menjadi agenda pemerintah adalah :
1. Isue tersebut memperoleh perhatian yang luas
2. Adanya persepsi atau pandangan publik bahwa tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut.
3. Adanya persepsi yang sama bahwa masalah itu adalah merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari beberapa unit pemerintah untuk memecahkannya.

Bagaimana agar isue tersebut menarik perhatian publik ?
Para pendukung harus menguasai media massa mempunyai sumber-sumber yang jelas.

C. PERUMUSAN USULAN KEBIJAKSANAAN NEGARA

Perumusan usulan kebijaksanaan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Yang termasuk ke dalam kegiatan perumusan kebijaksanaan negara adalah :
1. Mengidentifikasi alternatif
2. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif
3. Menilai masing-masing alternatif yang tersedia
4. Memilih alternatif yang “memuaskan” atau “paling memungkinkan untuk dilaksanakan “

D. PENGESAHAN KEBIJAKSANAAN NEGARA

Proses pembuatan kebijaksanaan tidak dapat dipisahkan dengan proses pengesahan kebijaksanaan. Kedua-duanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pembuat keputusan/kebijaksanaan akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan usulan kebijaksanaan, sehingga pejabat atau Badan pemberi pengesahan akan setuju untuk mengadopsi usulan kebijaksanaan tersebut menjadi kebijaksanaan yang sah. Setiap kebijaksanaan yang telah disahkan berarti telah siap untuk dilaksanakan.
Dalam proses pengesahan itu mungkin sekali akan terjadi usulan kebijaksanaan ditolak, perlu dimodifikasi dan sebagainya, sehingga proses perumusan kembali terpaksa harus dilakukan. Dengan demikian proses pengesahan (legitimasi) lancar atau tidak lancarnya sangat ditentukan oleh proses-proses kebijaksanaan sebelumnya dan sekaligus tergantung pada kualitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses kebijaksanaan tersebut.
Proses pengesahan kebijaksanaan itu adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima.
Pengesahan kebijaksanaan sebagai suatu proses kolektif banyak dilakukan oleh Badan Legislatif. Usulan kebijaksanaan banyak disampaikan oleh Badan Eksekutif

E. PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN NEGARA

Usulan kebijaksanaan yang telah diterima dan disahkan oleh pihak berwenang maka keputusan kebijaksanaan tersebut telah siap untuk diimplementasikan.
Terdapat beberapa kategori negara, antara lain sebagai berikut :
a. Substantive atau procedural policies, Substantive policies adalah kebijaksanaan tentang apa yang akan/ingin dilakukan oleh pemerintah. Yang menjadi tekanan adalah subject matternya, misalnya kebijaksanaan luar negeri, perdagangan, perburuhan, pendidikan, energi, kesehatan, perumahan dan sebagainya.
Prosedural policies, adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang siapa atau pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijaksanaan serta cara bagaimana perumusan kebijaksanaan itu dilaksanakan. Misalnya prosedur pembuatan UU Perpajakan yang menyangkut beberapa pihak yang terlibat serta prosedur perumusannya.

b. Distributive, Re-Distributive, Regulatory dan Self Regulatory Policies.
Distributive Policies, adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk : individu, kelompok, perusahaan, dan atau masyarakat tertentu. Misalnya : kebijaksanaan tentang pemberian beasiswa bagi mahaiswa yang memilih jurusan langka, pemberian subsidi pada koperasi teladan, pemberian tax holiday bagi perusahaan-perusahaan yang baru berdiri, pemberian pengobatan cuma-cuma bagi anggota masyarakat yang terjangkit wabah penyakit menular dan sebagainya.
Re-Distributive Policies, adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sengaja dilakukan pemerintah untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan, atau hak-hak diantara kelas-kelas dan kelompok-kelompok, misalnya antara golongan mampu dan tidak mampu. Contohnya : kebijaksanaan tentang pembagian tanah absenti pada buruh tani, pembebasan tanah untuk kepentingan negara/umum, pemberian dana kesejahteraan sosial dan sebagainya.

Regulatory Policies, yaitu kebijaksanaan tentang pengenaan pembatasan atau larangan-larangan perbuatan atau tindakan-tindakan/perilaku bagi seseorang atau sekelompok orang. Kebijaksanaan ini bersifat mengurangi kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Misalnya: Kebijaksanaan tentang larangan menyimpan, memiliki menggunakan senjata api tanpa dilindungi dengan surat-surat yang sah, pembatasan penjualan jenis obat tertentu dan sebagainya.

c. Material dan Symbolik Policies
Material Policies, adalah kebijaksanaan tentang pengalokasian atau penyediaan sumber-sumber material yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para penerimanya atau mengenakan beban-beban (kerugian) bagi yang harus mengalokasikannya. Misalnya : kebijaksanan tentang kewajiban para majikan untuk membayar upah minimum bagi buruhnya, kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan perumahan murah bagi warganya dan sebagainya.
Symbolic Policies,adalah kebijaksanaan yang bersifat tidak memaksa (non-enforcement), karena kebijaksanaan itu apakah akan memberikan keuntungan atau kerugian hanya memiliki dampak yang relatif kecil bagi masyarakat. Misalnya: Kebijaksanaan tentang larangan menginjak taman atau rumput di taman-taman kota, pajak progresif, konservasi hutan dan sebagainya.

d. Collective Goods dan Private Goods Policies
Collectives Goods Policies, adalah kebijaksanaan tentang penyediaan barang-barang dan pelayanan-pelayanan bagi keperluan orang banyak (kolektif) . Misalnya : Kebijaksanaan tentang pengadaan Sembilan Bahan Pokok (semabko) pengawasan lalulintas dan sebagainya.
Private Goods Policies, adalah kebijaksanaan tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan hanya bagi kepentingan perseorangan (private), yang tersedia di pasaran bebas dan orang yang memerlukannya harus membayar biaya tertentu. Misalnya : Kebijaksanaan tentang penyediaan barang keperluan pribadi seperti restoran, tempat hiburan, perumahan, universitas, rumah sakit, pelayanan telepon dan sebagainya.

e. Liberal dan Conservative Policies
Liberal Policies, adalah kebijaksanaan yang menganjurkan pemerintah untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial terutama yang diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan. Kebijaksanaan liberal ini menghendaki agar pemerintah mengadakan koreksi terhadap ketidakadilan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada aturan-aturan sosial, meningkatkan program-program ekonomi dan kesejahteraan.
Concervative Policies,adalah lawan dari kebijaksanaan liberal. Menurut faham konservatif aturan sosial yang ada cukup baik jadi tidak perlu adanya perubahan sosial (bertahan dengan status quo) atau kalau perubahan sosial diperlukan harus diperlambat dan berjalan secara alamiah.

Alasan mengapa setiap anggota masyarakat perlu mengetahui dan melaksanakan kebijaksanaan negara, antara lain sebagai berikut :
1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan pemerintah.
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijaksanaan
3.Adanya keyakinan bahwa kebijaksanaan itu dibuat secara sah, konstitusional dan dibuat oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk itu serta melalui prosedur yang benar.
4. Adanya kepentingan pribadi
5.Adanya hukuman-hukuman tertentu bila tidak melaksanakan kebijaksanaan.
6. Masalah waktu

Faktor-faktor mengapa orang tidak melaksanakan/tidak mematuhi kebijaksanaan :
1. Kebijaksanaan yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat
2. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum
3. Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok
4. Keinginan untuk mencari untung dengan cepat
5. Adanya ketidakpastian hukum


F. PENILAIAN KEBIJAKSANAAN NEGARA

Penilaian kebijaksanaan adalah merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijaksanaan. Sebagai salah satu aktivitas fungsional, penilaian kebijaksanaan tidak hanya dilakukan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas sebelumnya yaitu pengesahan dan pelaksanaan kebijaksanaan, tetapi dapat terjadi pada seluruh aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijaksanaan.
Penilaian Kebijaksanaan dapat mencakup tentang : isi kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, dan dampak kebijaksanaan. Jadi, penilaian kebijaksanaan dapat dilakukan pada fase perumusan masalahnya; formulasi usulan kebijaksanaan; implementasi; legitimasi kebijaksanaan dan seterusnya.
Charles O. Jones, mengartikan penilaian kebijaksanaan adalah :....suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi obyeknya; teknik-teknik pengukurannya dan metode analisanya....
Penilaian kebijaksanaan negara banyak dilakukan untuk mengetahui dampak kebijaksanaan negara.Dampak kebijaksanaan negara itu mempunyai beberapa macam dimensi, dimana hal ini harus dipertimbangkan dengan seksama dalam melaksanakan penilaian terhadap kebijaksanaan negara.
Berdasarkan pendekatan sistem politik, dampak kebijaksanaan baik yang positif maupun yang negatif akan difungsikan sebagai umpan balik dan dimasukan ke dalam masukan (input) dalam proses perumusan kebijaksanaan negara berikutnya.

KULIAH:3:LEMBAGA LEGISLATIF DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Demokrasi sebagai suatu gagasan kehidupan yang ideal pada hakekatnya dibangun oleh tiga nilai yang ideal yaitu: kemerdekaan (freedom), persamaan (equality) dan keadilan (justice).[1] Ketiga nilai demokrasi tersebut direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari pada negara yang menganut sistem politik demokrasi. Adanya jaminan atas terlaksananya nilai-nilai demokrasi tersebut sangat ditentukan oleh adanya kesempatan dari setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya kepada negara. Tidak setiap kebutuhan warga negara dapat dipenuhi secara pribadi oleh dirinya sendiri, terutama menyangkut kebutuhan umum (public goods) , pelayanan umum (public services), dan pelayanan sipil (civil services). Ketiga kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi bila ada pihak lain dalam hal ini ‘negara’ atau pemerintah yang berperan sebagai wakil rakyat dalam penyelenggaraan’pengaturan‘ kebutuhan masyarakat dan lembaga perwakilan rakyat yang akan membuat aturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah serta berperan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah.

B. KONSEP PERWAKILAN POLITIK

Konsep yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat pada negara demokrasi adalah menyangkut ‘perwakilan politik’. Dalam hal ini diuraikan oleh Arbi Sanit bahwa konsep perwakilan politik terdiri dari dua aspek, yaitu demokrasi perwakilan dan pemerintahan perwakilan.[2] Kiranya dengan hal tersebut maka konsepsi negara demokrasi menunjukkan bahwa sumber kekuasaan negara adalah rakyat, karenanya dalam konsep negara demokrasi kekuasaan itu berada di tangan rakyat.

Melihat bahwa kekuasaan adalah milik rakyat, maka sebetulnya secara prinsip pada dasarnya pengaturan kehidupan menjadi tanggungjawab setiap orang. Namun dalam kenyataannya tidak mungkin setiap warga negara akan mengatur dan mengurus kebutuhannya sendiri secara keseluruhan. Karena adanya keterbatasan tersebut, setiap individu akan memberikan kepercayaan kepada orang lain yang menjadi wakilnya untuk melakukan pengaturan. Dengan demikian pihak yang memperoleh kepercayaan/ kewenangan akan melakukan pengaturan pemenuhan kebutuhan kehidupan bersama sehingga terbentuk pemerintahan perwakilan.[3] Dalam hal ini mengandung pengertian bahwa pemerintahan yang terbentuk mewakili warga negara dalam hal memanfaatkan kekuasaan yang dipunyainya untuk menyelenggarakan kehidupan bersama.

Dalam hal menjalankan kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat kepada pemerintah, maka akan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara rakyat dan pemerintah. Artinya setiap perilaku dan tindakan pemerintah hendaknya memberikan nilai manfaat bagi rakyat. Untuk maksud tersebut maka proses pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tersebut perlu diawasi oleh lembaga atau sekelompok orang yang diserahi kekuasaan , yang pada dasarnya merupakan bagian keseluruhan pihak yang diserahi kekuasaan oleh rakyat.

Berdasarkan penjelasan di atas nampak bahwa yang diserahi kekuasaan oleh rakyat pada negara demokrasi itu terbagi dua: Pertama, Pemerintah (eksekutif) , yang diserahi kekuasaan untuk melaksanakan pengaturan berbagai kebutuhan masyarakat. Kedua, Lembaga Perwakilan Rakyat (Legislatif) yaitu lembaga yang berwenang dalam hal merumuskan dan membuat aturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah serta melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah.

Perwakilan politik rakyat terdapat baik di tingkat pemerintah pusat (Central Government) maupun pada pemerintah daerah (Local Government). Baik di pusat maupun di daerah, perwakilan politik pada lembaga legislatif memiliki fungsi dan peranan yang sama, yaitu bagaimana mampu mengemban kepercayaan dari rakyat yang telah menyerahkan kekuasaannya kepada ‘wakil’ di lembaga perwakilan (legislatif) melalui fungsinya yang dilengkapi dengan hak-hak sebagai anggota lembaga perwakilan. Steven menguraikan bahwa terdapat dua fungsi badan legislative yaitu pembuatan Undang-ndang dan Perwakilan Politik. Namun secara lebih sempit , dapat dijalankan fungsi penyusunan anggaran, impeachment, kerja sosial dan pengawasan.[4]

C. PERWAKILAN POLITIK DI INDONESIA
Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam sistem perwakilan ini masing-masing anggota masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam setiap perumusan kebijakan publik. Bentuk dari adanya keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan tersebut dilakukan dengan cara rakyat menentukan sendiri wakil-wakilnya yang menjadi kepercayaan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan melalui pemilihan umum (pemilu).

Keterlibatan rakyat dalam perumusan kebijakan dapat direalisasikan melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk di tingkat Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh karenanya, lembaga legislative (DPR dan DPRD) merupakan perangkat kekuasaan pemerintah yang sangat berperan dalam memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Peran penting dari lembaga legislative ini ditunjukkan dari tugas yang dipunyainya , antara lain menetapkan kebijakan publik. Bentuk kebijakan yang ditetapkan oleh DPR adalah Undang-undang dan oleh DPRD adalah Peraturan Daerah (Perda) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Setiap UU atau Peraturan daerah yang ditetapkan harus mencerminkan kehendak rakyat. Kepentingan rakyat yang diwakilinya dapat direalisasikan dengan baik bila setiap anggota legislative mengetahui aspirasi rakyat yang diwakilinya. Aspirasi rakyat yang masuk ditampung untuk kemudian dirumuskan dalam kebijakan yang dibuatnya. Dalam merumuskan kebijakan tersebut perlu adanya aktivitas dan kreativitas yang tinggi dari setiap anggota komponen di dalam DPR atau DPRD. Dengan kata lain, partisipasi dari setiap anggota diperlukan dalam perumusan kebijakan daerah.

Dalam hal fungsi legislative yang dimiliki oleh DPR dan DPRD, menunjukkan bahwa dirinya sebagai badan perwakilan rakyat dituntut untuk senantiasa mampu menampung aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya dengan cara memasukannya ke dalam UU, Peraturan Daerah dan APBD yang dihasilkannya. Memuaskan kehendak masyarakat atau kemauan umum adalah esensi dari fungsi anggota serta badan legislative selaku wakil rakyat.[5] Anggota DPR atau DPRD perlu pula mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik yang datang dari perorangan, maupun dari berbagai kesatuan individu seperti kekuatan politik, kelompok kepentingan, eksekutif dan sebagainya. Dengan demikian, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan pemutusan kebijakan.[6]

Untuk dapat melaksanakan fungsinya, baik DPR mapun DPRD mempunyai hak-hak : hak anggaran , hak mengadakan perubahan, hak mengajukan pernyataan pendapat, hak prakarsa, dan hak penyelidikan. Melihat pada beratnya tugas dalam melaksanakan fungsi legislative, DPR dan DPRD harus benar-benar mampu berperan dalam menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. [7] Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan baik apabila setiap anggota badan legislative ini bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, mekanisme kerja kelegislatifan, kebijakan publik, teknis pengawasan, penyusunan anggaran dan sebagainya.[8] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang anggota lembaga legislative harus memenuhi kemampuan ideal agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.

[1] Arbi Sanit, Perwakilan Pilitik di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hal. 25.
[2] Ibid hal. 25.
[3] ibid hal. 26.
[4]Steven A. Peterson & Thomas H. Rasmussen, State and Local Politiks,(New York, Mc Graw-Hill’s Core Books, 1994), hal 102.
[5] Arbi Sanit, op.cit. hal.204
[6] Ibid hal. 205
[7] Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah : Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2000), hal. 21-22
[8] Ibid hal. 57

KULIAH 2: FUNGSI LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT

A. Fungsi Lembaga Perwakilan Secara Teori
Konsep perwakilan politik tidak dapat terpisahkan dengan konsep badan perwakilan rakyat. Lembaga ini dibangun oleh para wakil rakyat dengan fungsi utama merealisasikan kekuasaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Terdapat dua peran utama dari Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu:
1. Badan legislative merupakan lembaga pembuat undang-undang (a law making institution). Artinya DPR berfungsi membuat UU dan kebijakan bagi rakyat . Dalam kapasitas ini semua anggota DPR diharapkan untuk membuat UU atau kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
2. Badan legislative adalah merupakan badan perwakilan rakyat ( a representative assembly), yang dipilih untuk membantu menghubungkan antara konstituenn dan pemerintahan nasional.

Dua peran ganda tersebut melekat dalam masing-masing anggota Dewan. Oleh karenannya setiap anggota dewan dituntut untuk mampu menyeimbangkan antara fungsi legislative (perundang-undangan) dan fungsi perwakilan. Artinya disatu sisi dia harus meujudkan tujuan nasional sementara pada sisi yang lain dituntut untuk mewakili konstituennya dar daerah pemilihan dia. Dua fungsi ini sama-sama berat dan pentingnya. Hanya anggota DPR yang memliki integritas dan kemampuan yang baik yang mampu melaksanaakan keduanya.

Napitupulu (2005) mengutif pendapat Burns(1989) menyebutkan , secara teori bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat setidaknya memiliki 6 (enam) fungsi:
a. Representasi (Perwakilan)
b. Lawmaking (Pembuatanh UU)
c. Consensus building (Membangun consensus)
d. Overseeing (Pengawasan)
e. Policy Clarification (Klarifikasi kebijakan)
f. Legitimizing (Memberikan legitimasi)
Teoritisi lain, Calvin Mackenzie (1986) menyebutkan bahwa lembaga perwakilan rakyat memiliki tiga fungsi seperti:
a. Legislation (Pembuatan UU)
b. Representasion (Perwakilan)
c. Administrative oversight (Pengawasan)

Theodore J. Lowi dan Benjamin Ginsberg (1990) membagi beberapa fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat sebagai:
a. Representatives as agents (Perwakilan Politik)
Hal ini dimaksudkan bahwa gagasan wakil sebagai agen yang ditunjukkan melalui peranan anggota legislative dalam hal memperhatikan konstituennya berdasarkan karakteristik sosiologis. Dalam hal ini anggota dewan senantisa siap melayani dan membantu konstituennya dalam berbagai permasalahan yg dihadapi. Oleh karenanya ia harus siap emndengar dan menampung keluh kesah konstituennya.

b. Direct patronage (Pelindungan langsung)
Dalam hal ini anggota dewan dapat memberikan perlindungan yang dirasakan langsung oleh konstituennya. Artinya anggota dewan dapat bertindak mengintervensi pemerintah atas nama konstituennya apabila dihadapkan pada kepentingan masyarakat, atau adanya kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat konstituennya.

c. Statutes (the making of laws) (Pembuatan UU)
Lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi merumuskan dan membuat UU, baik atas usul pemerintah maupun atas inisiatif dari lembaga perwakilan sendiri.

d. Oversight (Pengawasan)
Menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dijalankan agar tidak bertentangan dengan garis-garis poltik yang telah ditetapkan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsi pengawasan ini, anggota dean diberikan hak untuk bertanya, melakukan penyeleidikan atau investigasi atas kebiajakan pemerintah yg dianggap terjadi penyimpangan. Fungsi pengawasan ini dilakuan dengan cara kuestioner atau melalui bertanya langsung kepada konstituennya atas kebijakan pemerintah tersebut.

e. Advice and consent: special power of legislators
Merupakan kekuasaan tambahan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan yang ditetapkan dalam konstitusi. Dalam hal ini Lembaga perwakilan rakyat berperan untuk memberikan saran kepada pemerintah (presiden) dalam hal menetapkan pejabat-pejabat tinggi negara seperti duta besar5 dan hakim, misalnya. Memberikan saran dalam hal perjanjian kerjasama dengan negara lain atau menyatakan suatu keadaan (kondisi) tertentu dari negara.

f. Debate (Dialog/argumentasi)
Dalam hal ini Lembaga Perwakilan Rakyat memiliki fungsi untuk bertanya secara detail dan menguji keseriusan eksekutif adalam hal poses legisalasi (merumuskan/menetapkan UU atau kebijakan) yang diajukan oleh pihak eksekutif.

g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi)
Fungsi ini mengacu kepada praktek pendelegasian kekuasaan legislative tertentu dari Lembaga Perwakilan Rakyat kepada salah satu dari komisi-komisinya. Misalnya, setiap anggota fraksi dalam komisi, ia dapat menyetujui atau tidak menyetujui atas sebuah proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, karena ia telah ditugaskan dalam komisi tersebut. Pelaksanaan fungsi ini dilaksanakan tidak harus kembali bertanya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (pimpinan lembaga) untuk otorisasi (Kewenangan) maupun apropriasi (persetujuan).

h. The Legislative veto
Fungsi ini merupakan salah satu cara dari legislative dalam membuat UU secara tidak langsung. Dalam hal ini legislative mmemberikan kepada presiden kekuasaan untuk mereorganisasi badan atau departemen pemerintah. Badan legislative dapat memveto (memutuskan) usulan presiden untuk dijadikan UU (peraturan) manakala dewan beranggapan bahwa usulan presiden tersebut penting dan menyangkut kepentingan rakyat.

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas nampak bahwa banyak sekali fungsi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat. Tentunya keberlakuan fungsi lembaga perwakilan rakyat ini akan berbeda antara negara satu dengan yang lainnya, dan ini sangat dipengaruhi oleh system politik yang dipergunakan.

B. Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia
Dalam Sistem Politik Indonesia, secara umum peran dan fungsi lembaga perwakilan rakyat, baik di pusat maupun di daerah (DPR/DPD maupun DPRD) , setidaknya memiliki 3 (tiga) fungsi utama antara lain:

1. Fungsi Legislasi
Dalam hal ini lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi perundang-undangan. Artinya baik DPR maupun DPRD memiliki fungsi untuk menentapkan garis-garis politik bagi pembangunan rakyat. Untuk di tingkat Pusat dalam bentuk UU sedangkan di Daerah berupa peraturan daerah. Kekuasaan atas fungsi legislative ini merupakan kekuasaan terpenting dari sebuah lembaga perwakilan rakyat. Karena menyangkut kepentingan rakyat. Dalam hal menjalankan fungsi ini maka setiap anggota dewan dituntut untuk :
a. Bagaimana mereka merasakan persoalan utama bangsa dan apa yang yang dapat dilakukan dengan persoalan tersebut.
b. Bagaimana mereka merespon kepentingan-kepentingan konstituen.
c. Bagaimana mereka mengikuti usulan-usulan dari berbagai pihak dan elemen yang ada.

2. Fungsi Anggaran ata Keuangan
Atas dasar asumsi bahwa Lemabaga Perwakilan Rakyat ini mewakili rakyat, maka badan ini berwenang untuk menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakikatnya adalah uang rakyat. Baik pembelanjaan negara yang bersumber dari pajak, sebagai sumbernya, maupun yang berasal dari bantuan atau pinjaman luar negeri, semua itu menjadi beban bagi rakyat.

3. Fungsi Pengawasan
Lembaga perwakilan rakyat akan menjalankan fungsi pengawasan terutama atas kebijakan (UU) yang dibuat oleh DPR/DPRD. Berbagai kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD antara lain melalui bertanya, interpelasi, angket dan mosi. Hak-hak tersebut akan melengkapi DPR/DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan.